Kamis, 31 Oktober 2013

Sepotong keik dan kopi


Puisi Ujianto Sadewa

di beranda sore itu, kau berkata:
“aku membawa buah untukmu, apakah telah kau siapkan pemadu?”

lalu sepotong keik jadi penghantar rehat minum kopi kita
yang coklat melulu:
“keik yang perisa!”katamu

di sela itu, percakapan pun mengalir
tentang perawis bawang putih yang kini mahal
juga tentang 6,7 triliun yang lenyap tak tertangkap jejak

ada sedikit lapar, namun itu terlalu awal
untuk setangkup santapan nasi dengan daging pacak yang dijerang panci masak cepat

namun kucukupkan
menatapmu sebagai kudapan

2013

Ganda Rasa Pramusiwi


Puisi Ujianto Sadewa


di bandar udara pramusiwi datang
mengimpaskan janji
ke balai rias mereka pun menyusun kembali taklimat
dari hari-hari remaja mereka
yang terampas toko serba ada dan jasa boga

lihatlah, apa yang mereka sunting
dari alat-alat kecantikan yang tercecer acak
menuntaskan segala ganda rasa yang mapan
yang disimpansusunkan pada lahan padat karya jiwa ekawarna
hitam di atas putih melulu

tak lama pula,
kemudian mereka mengatak diri secara laku lajak
pada anjungan penglihatanku

2013

Rabu, 09 Oktober 2013

Selasa, 08 Oktober 2013

RESIDENSI SUARA-SUARA HAMPA


Puisi Ujianto Sadewa


Siapa yang telah menggergaji waktu?
Subuh telah mengering dalam panggangannya
Daging panas yang terbuka oleh asap harum menusuk rasa laparmu
Ruang ini, satu bagian krematorium raksasa tak membiarkan kita mengaduh jatuh
Pada rasa jenuh
Pada mulut-mulut perkasa yang nista, serapah adalah doa
Kata-kata yang keluar dari pikiran bolong adalah omong kosong


Seperti gambar-gambar dan kata yang diproyeksikan tanpa makna
Menggerogoti grafik-grafik picisan pada rasa kantuk
Ini hidup tertutup dalam pejam gelap
Cahaya redup pada meja pembicara tanpa moderator
Menjelma serupa diktator


Keterangan:
Puisi ini telah dipublikasikan juga pada Buku Antologi Puisi “Ziarah Kata”44 Penyair,halaman.95. Editor:Widzar Gifari,Hawe Setiawan, Semmy Ikra Anggara, Adew Habtsa.Penerbit:Majelis Sastra Bandung. Tahun Terbit: Januari 2010




CATATAN HARIAN DARI SEBUAH KATALOG PRODUK KECANTIKAN


Puisi Ujianto Sadewa


Bandung, kutinggalkan kau dengan separuh lelah
Kutemukan ranah tanpa rumah
Pada kelopak matamu yang tak lagi ramah
Tinggal remah,


Yang tengadah pada langit basah
Sehabis hujan yang tak bosan-bosannya membasuh tanah
Tapi lihat pepohon yang ditumbangkan
Seperti anak yang dipaksa putus sekolah
Menjadi pengemis tanpa rasa bersalah


Tapi pada telapak trotoarmu juga
Kujejakkan kaki dalam satu parade
Berebut botol minuman keras dengan seorang pemulung
Di depan sebuah tempat sampah bar yang telah tutup
Pada pagi hari di Braga


Dengan dua gerigi yang mulai karatan
Mengayuh pedal sepeda ke cikapundung
Pada dini hari yang buta
Pada subuh
Berlari di atas aspal
Teduh.
Mengantri koran turun dari percetakan


Astana anyar yang rongsok
Cihapit yang mengalun dengan rimbun
Kadang pagi penuh embun


Aku akan pergi meninggalkanmu
Selamat tinggal


Keterangan:
Puisi ini telah dipublikasikan pada Buku Antologi Puisi “Di Atas Viaduct”(Bandung dalam Puisi Indonesia), halaman 145. Editor: Ahda Imran. Penerbit:PT.Kiblat Buku Utama , Bandung,bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung.Tahun Terbit:Mei 2009.

RUMAH-RUMAH YANG DIAM


Puisi Ujianto Sadewa


Rumah-rumah yang diam di belakangku
Seperti menerkam kangenku dalam gelap
Untuk berjalan dan berjalan lagi
Pada gang setelah jembatan setelah sore redup
Orang-orang yang biasa bermain dengan merpati
Kemana mereka setelah tempat sampah dibakar
Dan halaman belakang yang telah jadi masjid
Lihat sepanjang alir sungai yang keruh dan mampat oleh sampah plastik ini
Di seberangnya telah penuh oleh nisan
Putih seperti warna kebun kubis muda
Katamu yang tersesat
Tak sampai rumah


Keterangan:
Puisi ini telah dipublikasikan pada Buku Antologi Puisi “Di Atas Viaduct”(Bandung dalam Puisi Indonesia), halaman 223 . Editor: Ahda Imran. Penerbit:PT.Kiblat Buku Utama , Bandung,bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung.Tahun Terbit:Mei 2009.
Puisi ini telah dipublikasikan juga pada Buku Antologi Puisi “Ziarah Kata”44 Penyair,halaman.94. Editor:Widzar Gifari,Hawe Setiawan, Semmy Ikra Anggara, Adew Habtsa.Penerbit:Majelis Sastra Bandung. Tahun Terbit: Januari 2010


AIR SETINGGI KUBAH


Puisi Ujianto Sadewa


Apa batas dari ketinggian yang menggigit tubuh ini
Gelombang dari laut yang menerpa rumah-rumah kami
dan segala yang tersisa dari hidup telah lepas
Betapa tinggi makna sebuah peristiwa langka ini
Dan tiba-tiba keluarga yang saling tercerai-berai mendadak menjadi gila
Menyaksikan gerakan air dan gempa yang tak juga reda, juga di dada ini
Kau lihatlah lumpur-lumpur yang manyergap matahari pagi
Tak ada lagi keriuhan pasar dan jual beli, semua telah musnah
Tinggal sisa keping-keping harapan yang hancur
Kini tangis itu telah berubah menjadi gelombang besar pula menerpa dunia
Menjadi samudera baru yang menenggelamkannya
Tak ada lagi daratan yang berduka
Tinggal tersisa air setinggi kubah disini
Dan lamat-lamat terdengar suara azan dengan sayup



Puisi ini telah dipublikasikan juga pada Buku Antologi Puisi “Ziarah Kata”44 Penyair,halaman.93. Editor:Widzar Gifari,Hawe Setiawan, Semmy Ikra Anggara, Adew Habtsa.Penerbit:Majelis Sastra Bandung. Tahun Terbit: Januari 2010




SEPANJANG JALAN SUCI


Puisi Ujianto Sadewa


Melulu keringat yang keluar dari jangat
Jalanan kota yang terus melebar, dengan trotoar terbongkar
Tiang-tiang listrik berkarat dan mahoni yang sekarat
Hidup yang mesti terus dikayuh
Oleh peluh yang melepuh


Bukankah tadi kau lihat juga
Akar-akar pohon menganga
Seonggok gelondong-gelondong mati
Berlubang di tepi jalan
Adalah saksi yang akan melapor pada-Nya:


"Mereka telah menghabiskan sumber hidup,
dan mencoba mengekalkan apa-apa yang tidak kekal!"


Keterangan:
Puisi ini telah dipublikasikan pada Buku Antologi Puisi “Di Atas Viaduct”(Bandung dalam Puisi Indonesia), halaman 156. Editor: Ahda Imran. Penerbit:PT.Kiblat Buku Utama , Bandung,bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung.Tahun Terbit:Mei 2009.
Puisi ini juga telah dipublikasikan sebelumnya pada rubrik puisi H.U. Radar Bandung, 15 April 2007.

Selasa, 01 Oktober 2013

HIJI ALIF ANJEUN

Puisi Ujianto Sadewa

Jagat molongpong
Langit tinggal ceudeumna
Ibun turun dihareupeun jandéla tatangga
 méh beureum rupana
Angin teu jol waé
 kana ieu wanci, nguliat awakna nuang katiris

anjeun geus miang, numpak cahaya, muru wanci
 laut raat tina sumegruk jeung gaur sato
jeung kamana malik muara
 sanggeus peupeus jeung remuk
ninggalkeun bubuk awak?

jeung jiwa?
tinggal sono Anjeun
natahan deui hurup jeung angka ka mimiti
Alif jeung hiji
 luhur
 jeung anjeun
muru Anjeun
Anjeun

Senin, 30 September 2013

MEMETIK PUISI DI MUSIM HUJAN


Oleh: Ujianto Sadewa

Awal tahun adalah saat-saat hujan menyerbu, kadang rinai, atau juga disertai puting beliung. Musim basah seperti itu tidak hanya membikin suasana sekitar menjadi sedikit gloomy dan romantik. Tetapi nuansa hujan semacam itu juga membuat suasana hati menjadi lebih kreatif dan imajinatif. Puisi adalah entitas kreatif dan imajinatif yang demikian. Di kala situasi politik yang keruh dan korup, saat rakyat harap-harap cemas dengan kenaikan BBM, puisi hadir di sini: Untuk dibaca, juga boleh dipetik dan dibawa jika anda suka.
Suatu hari penyair Helmut Seethaler di Austria membuat aksi puisi di jalanan kota Wina, Austria.Helmut dengan nekadnya membentangkan puisi-puisinya dalam bentuk potongan kertas kecil di bawah gedung yang sedang direnovasi. Aksinya itu tak tanggung-tanggung telah ia lakukan selama 30 tahun. Akibatnya ia dikenai pasal vandalisme oleh pengadilan kota Wina. Puisi-puisinya yang sarat ironi dianggap mengotori keindahan kota.
Kemudian ada pengamen puisi Hans-Jürgen Gäbel di kota Konstanz, Jerman. Hans cukup antik cara mengamen, dengan melafalkan berbagai puisi yang sudah dihafal di luar kepala.
Juga seorang Indonesia di Swiss, Sigit Susanto, membuat Literatur zum Pflücken, Sebuah pameran puisi jalanan di sebuah taman  di tepian  danau Zug.Dengan caranya yang unik, ia mengajak dan membaurkan puisi dengan masyarakat Swiss.Ia menampilkan puisi dengan sederhana, sesederhana penganan bala-bala jagung yang ia sajikan untuk para apresian puisinya.
Maka, selamat berpuisi teman-teman…

Kamis, 26 September 2013

PARADE MUSIK HUJAN


Sesore ini hujan mengigau 
melontarkan irama gemerisik nan asyik 
menampar-gelarkan gelegar petir nan getar 
menyisit sisi-sisi tepi sipi yang tak lagi 
mengguar-buncahkan hasrat cuaca yang tempias di batinku 
bersama tambur langit yang menggema 

lalu waktu hadir memparaf silam-kini-nanti-entah 
dan engkau begitu kuat dalam ingatanku 
menggerus geligir hati yang bernyanyi 
ya, irama hujan yang bersekutu dalam waditra kata-kata 
menjadi bulir-bulir udara lembab yang berparade 
mencetuskan ram tam tam tri ti sik 
dalam gema-gema hening 

 2013

WAKTU BERWARNA MERAH


Yel-yel menyusup 
antara patahan warna zebra dan sejarah yang dikunyah 
bersama kenangan-kenangan tersisihkan 
dari gunung es waktu 
waktu yang berwarna merah dan bersahaja 

2012

SEKOLAH MALAM

Hari telah malam
buku telah malam pula
dan para siswa mengeja bahasa
berceloteh kata-kata

Mereka teringat London dan Birmingham
pada Zephaniah dan penyair yang kelak
mengajari mereka
rasa kata-kata

2013

PEMAHAT KEMATIAN

PEMAHAT KEMATIAN

Usia adalah nafas yang tersangkut pada ranah asing
Yang ngungun pada pojok gua kesemestaan
Sebuah batas yang tergaris pada ruang kosong
Pada keluasan personal yang terajam
Pada magenta yang segera usai di bawah kelambu langit
Dan kata: tinggal satu dua sekat di pita suara
Yang tak sanggup menjadi jejak
Dan ingatan: cuma harapan yang terkepal
Atas doa, begitu purba
Tubuh ini adalah wewangian terluka
Yang menanti nafas usai
Terpahat pada nisan

2006

IMANSETI

IMANSETI

Nafas kita bukan darah sapi
Yang ngalir dari leher tertebas
Dan lenguhan terakhir dari luka

Nafas kita adalah irama yang terjerembab
Ketika mata baru terbuka
Menangkap warna cahaya
Pada langit terluka

Dengar, pada bulir air yang berbisik
:ia hanya perajin kata dari liang asing
lembah betah yang tengadah
menampung palung bingung
menggurat luka terkerat
menggores tetes demi tetes

bahwa mungkin suatu hari
nafas kita menderu lagi
menatap dunia baru: lagi

2006